Sunday, April 7, 2013

PANDANGAN HIDUP MASYARAKAT JAWA


                            


                        Disusun oleh:
1. Azka Lailatu Sa’adah    (124211001)
2. Luk-Luk Atul Fuah       (124211002)
3. Ainul Azhari                  (124211005)


                                              I.            [1]PENDAHULUAN

Para sarjana yang menaruh minat terhadap kajian mengenai masyarakat Jawa selalu mengenal dengan baik istilah santri dan abangan itu. Istilah dan konsep santri dan abangan telah terkenal dan sering dipakai dalam karya-karya para sarjana tentang sejarah politik dan masyarakat Jawa. Di samping para pengarang bangsa Indonesia, Clifford Geertz ahli antropologi bangsa Amerika yang terkemuka, menggunakan kedua istilah tersebut secara luas dalam bukunya, “The Religion of Java” pengkajian yang sistematis terhadap konsep santri dan abangan.

Clifford Geertz menyebut bahwa pandangan dunia Jawa adalah agama Jawa, baik sebagai agama abangan, agama santri, maupun agama priyayi, menurut lapisan-lapisan dalam masyarakat. Itulah sebabnya Suseno menjelaskan bahwa dalam pandangan dunia Jawa ada empat lingkaran bermakna, yaitu pertama, adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang keramat, serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri (secara kental dan kuat dalam lapisan masyarakat desa) ini seperti yang diungkapkan oleh Greetz sebagai agama abangan. Yang kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus (ukhrowi, adikodrati). Yang ketiga yaitu berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan Yang Maha Kodrati. Yang keempat, penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Illahi, oleh takdir (Suseno, 1999:84) .

                            II.            RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana kepercayaan masyarakat Jawa antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati?
2.      Bagaimana penghayatan kekuasaan politik masyarakat Jawa?

                         III.            PEMBAHASAN

1.      Kepercayaan Masyarakat Jawa antara Alam, Masyarakat, dan Alam Adikodrati[2]

a.       Alam Numinus

Numinus berasal dari kata bahasa Latin “numen” yang artinya cahaya; Inggris “numinous”; dan Arab “nur”. Dari runutan fenomenologis agama, numinous mengacu pada pengalaman religious yang menunjukkan zat Allah dan dapat dikatakan sebagai kepercayaan ketuhanan (monoteis). Geertz (1969:118) menjelaskan, yang intinya berarti “Yang Ilahi” atau “Yang Kodrati”. Cirri-ciri pandangan dunia ini ialah penghayatan terhadap masyarakat, alam, dan alam kodrati sebagai kesatuan yang tak terpecahkan. Dan dari kelakuan yang tepat terhadap kesatuan itu tergantung keselamatan manusia.

Pandangan dunia Jawa termaktub pada lingkaran pertama (menurut istilah Suseno), yaitu dunia luar dihayati sebagai lingkungan kehidupan individual yang homogeny, serta di dalamnya Allah selalu memberikan keselamatan. Kata selamet merupakan kata kunci dalam segala perilaku hidup, yang oleh Koentjaraningrat (1960:95) digambarkan sebagai “a state in which events will run their fixed course smoothly and nothing untoward will happen to anyone”.

Untuk mencapai keselarasan dunia, seseorang harus memegang kata selamet terutama yang dipegang teguh oleh para petani, yaitu kaum yang sederhana baik di desa maupun di kota. Inilah yang merupakan penghayatan masyarakat terhadap alam, yaitu alam Ilahiah sebagai satu kesatuan, sehingga dari kepercayaan ini akan ditemukan keselamatan.

b.      Masyarakat

Pandangan dunia Jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa antara masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir. Terjadinya masyarakat mula-mula dari sebuah keluarga kecil, tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh, dan akhirnya seluruh desa. Lingkungan ini diatur dengan norma dan adat yang nantinya mereka akan menemukan identitas dan keamanan jiwa. Bila anggota masyarakat terpisah dari aturan di atas, maka mereka merasa dikucilkan.

Lewat sebuah masyarakat mereka melakukan hubungan antar sesama serta dengan alam. Di samping alam kehidupan sering memberikan tantangan, hambatan, dan ancaman. Di lain pihak juga memberikan ketenangan, dan keselamatan hidup dan membuktikan bahwa seluruh kehidupan ternyata eksistensinya tergantung pada alam.

c.       Alam Adikodrati

Alam inderawi bagi masyarakat Jawa merupakan ungkapan alam gaib, yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dan darinya akan diperoleh eksistensinya, sebab alam merupakan ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan yang penting, misalnya kelahiran, tetesan, khitanan, pernikahan, kehamilan, proses penuaan, dan kematian.

Penduduk Jawa yang sederhana (petani) setelah menemukan identitasnya secara kelompok, akan bersama-sama mengarungi hidup yang berhadapan dengan alam sebagai perwujudan pengakuan kepada kekuasaan Ilahiah yang menentukan kehidupan seluruhnya. Apakah ternyata panennya berhasil karena kekuatan alam saja? Realitanya adalah, mereka masih mempunyai kepercayaan bahwa di balik semuanya ada kekuatan Yang Maha Kuat, yaitu kekuatan Adikodrati.

Pandangan dunia Jawa, begitu bagi orang Jawa alam empiris sangat erat hubungannya dengan alam ghaib (metempiris), keduanya saling meresapi, artinya alam empiris selalu sudah diresapi alam gaib. Praktik kepekaan dimensi gaib dunia empiris menemukan ungkapan dalam berbagai warna ritual kehidupan.

2.      Penghayatan Kekuasaan Politik Masyarakat Jawa[3]

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.[4]

Dalam membahas golongan santri dan abangan sebagai kekuatan-kekuatan social politik di Indonesia masa kini, khususnya di Jawa, perlulah orang meninjau zaman terakhir kekuasaan penjajahan Belanda di Indonesia yang ditandai oleh pertumbuhan cepat kesadaran diri secara politik sebagai hasil perubahan social dan ekonomi, dampak pendidikan gaya Barat, serta gagasan aliran pembaruan Islam dari Mesir.
Bukti-bukti sejarah telah menunjukkan bahwa Islam dan politik telah terjalin satu sama lain selama proses pengislaman di pulau Jawa. Kyai dan ulama’ sejak semula merupakan inti peradaban santri. Keduanya juga menjadi unsure social khas dalam masyarakat Jawa. Pengaruhnya besar sekali pada kehidupan relijius, social, dan politik di Jawa, malahan di seluruh Indonesia. “Sejarah Islam di Indonesia adalah sejarah meluasnya peradaban santri”, kata H.J. Benda, dan dampaknya pada kehidupan relijius, social, dan politik di Indonesia. Sebagai akibat menonjolnya Islam di Jawa, maka kyai dan ulama’ kemudian memainkan peranan politik yang semakin penting di bagian pedesaan pulau Jawa, bukan saja secara jumlah, melainkan juga secara psikologi dan ekonomi.

                         IV.            KESIMPULAN

Orang Jawa berpandangan bahwa dunia luar dihayati sebagai lingkungan kehidupan individual yang homogeny, serta di dalamnya Allah selalu memberikan keselamatan. Kata selamet merupakan kata kunci dalam segala perilaku hidup.

Pandangan dunia Jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa antara masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak lahir. Masyarakat Jawa berawal dari sebuah keluarga kecil, kemudian keluarga tetangga baik tetangga jauh maupun dekat, lalu berkembang lagi menjadi sebuah desa dan akhirnya menjadi kota. Lewat masyarakat mereka melakukan hubungan sosial yang berlanjut pada hubungan bersama dengan alam.

Penduduk Jawa setelah menemukan identitasnya secara kelompok, akan bersama menjalani hidup  yang berhadapan dengan alam sebagai perwujudan pengakuan kepada kekuasaan Ilahiah yang menentukan kehidupan seluruhnya. mereka mempercayai bahwa di balik semuanya ada kekuatan Yang Maha Kuat, yaitu kekuatan Adikodrati.

Ada beberapa kepercayaan dan adat istiadat asli yang berangsur-angsur tersingkir sepanjang perjalanan zaman,tetapi banyak diantaranya tetap seperti dahulu. Itulah sebabnya mengapa keberadaan santri dan abangan merupakan faktor  yang  tak  dapat di  tinggalkan dalam masyarakat muslimin di jawa

Meskipun orang santri dan abangan memainkan perang politik yang semakin penting di jawa,maka persainga antara kekuatan politik islam berupa santr dengan kekuasaan politik non religious berupa abangan menjadi salah satu faktor tentu bagi sejarah sosial dan politik jawa di Negara Indonesia merdeka.

                            V.            PENUTUP

            Demikian makalah ini kami susun, penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kesan kekurangan dan jauh dari kesan sempurna. Oleh karena itu  kritik dan saran yang kontruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalh kami selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan membahasnya.


                         VI.            DAFTAR PUSTAKA

H.M. Amin Darori, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta 2000
Muchtarom Zaini, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, Salemba Diniyah, Jakarta 2002
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_politik


[1] Amin, M. Darori, islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarta, Gama Media:2000, hlm.68
[2]  Ibid, hal 69
[3] Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta, Salemba Diniyah, 2002, hal. 74-91
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_politik

No comments: