Monday, March 24, 2014

MUHKAM DAN MUTASYABIH





Compiled by: ANDIKAMAULANA


A.     PENDAHULUAN

Kata Muhkam terambil dari kata hakama. Kata ini berkisar maknanya pada “menghalangi”. Seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan, demikian juga hakim. Kendali bagi hewan dinamai hakamah, karena ia menghalangi hewan mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Muhkam adalah sesuatu yang terhalangi/bebas dari keburukan. Bila anda menyifati satu bangunan dengan kata ini, maka itu berarti bangunan tersebut kokoh dan indah, tidak memiliki kekurangan. Bila susunan kalimat tampil dengan indah, benar, baik, dan jelas maknanya, maka kalimat itupun dilukiskan dengan muhkam.

Seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam. Allah melukiskannya sebagai:


 Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci[1], yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu, (QS. Hud (11): 1)

Allah juga memperkenalkan al-Qur’an sebagai:

Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang[2], gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun. (QS. Az-Zumar (39): 23)

Kata Mutasyabih terambil dari akar kata asy-Syabah yang bermakna serupa (tapi tak sama). Yang dimaksud oleh ayat az-Zumar di atas adalah ayat-ayat al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketepatan susunan redaksinya serta kebenaran informasinya.

Di tempat lain, Allah berfirman:

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[3], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[4]. (QS. Ali Imran (3): 7)

Yang dimaksud dengan Mutasyabih pada ayat Ali Imran ini adalah “samar”. Ini adalah pengembangan dari makna keserupaan di atas. Memang keserupaan dua hal atau lebih, dapat menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.[5]

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Bagaimana penjelasan kaedah tafsir yang berbunyi, “Dilihat dari satu sisi, seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah dipahami, dan terperinci maksudnya). Jika ditinjau dari sisi lain, dapat dikatakan bahwa seluruh makna al-Qur’an bersifat mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah dipahami). Akan tetapi, dari sisi lain dapat pula dikatakan bahwa sebagian ayat bersifat muhkam dan sebagian lagi mutasyabih?

PEMBAHASAN
Dilihat dari satu sisi, seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah dipahami, dan terperinci maksudnya). Jika ditinjau dari sisi lain, dapat dikatakan bahwa seluruh makna al-Qur’an bersifat mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah dipahami). Akan tetapi, dari sisi lain dapat pula dikatakan bahwa sebagian ayat bersifat muhkam dan sebagian lagi mutasyabih. Allah sendiri menyifati kitab suci itu dengan ketiga sifat diatas. Ayat yang menegaskan al-Qur’an itu bersifat muhkam, antara lain, pada surah Hud (11): 1:
  
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,

Maksud ayat ini ialah, al-Qur’an adalah al-haq (kebenaran), yang disusun dengan sangat sistematis, mencapai puncak kerapian dan kebijaksanaan. Al-Qur’an adalah kebenaran. Di dalamnya tidak dijumpai pertentangan dan perselisihan. Semua perintah yang terdapat di dalamnya berisi kebaikan, petunjuk, keberkatan, dan kemaslahatan. Sedangkan larangannya berangkat dari semua yang mengandung keburukan, kemudaratan, prilaku tercela, dan perbuatan jahat.

Bahwa al-Qur’an bersifat mutasyabih, dinyatakan di dalam surat az-Zumar (39): 23:

Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang mutasyabih.

Maksud mutasyabih disini ialah, serupa kebaikan, kebenaran, nilai petunjuk, dan kebenarannya. Al-Qur’an mengemukakan berbagai pengertian yang bermanfaat, menjernihkan akal, menyucikan qalbu, serta menunjukkan dan mengajarkan kemaslahatan dalam segala keadaan dan situasi. Kata-kata yang digunakannya merupakan kata-kata yang paling rapi dan efisien. Sedangkan pengertian yang dikandungnya adalah pengertian terbaik.

Sifat mutasyabih (keserupaan) al-Qur’an dapat digambarkan dengan mengutip ayat al-Qur’an itu sendiri, yaitu ketika al-Qur’an menjelaskan sifat buah-buahan yang berasal dari tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan itu memberikan kenikmatan serta manfaat bagi tubuh dan pertumbuhan bagi manusia. Pada surah al-An’am (6): 141 al-Qur’an menyatakan:

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).

Dapat pula sifat mutasyabih al-Qur’an diserupakan dengan keterangan tentang sifat kenikmatan dan buah-buahan di surge, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah (2): 25:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa (hampir sama).

Adapun ayat al-Qur’an yang menyatakan sebagian ayat bersifat mutasyabih dan sebagian lagi bersifat muhkam terdapat pada surat Ali Imran (3): 7:

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.

Dijelaskan juga, orang-orang yang berkeyakinan teguh karena pemahamannya mantap dan mendalam tentang Allah, keyakinan tersebut tidak dapat digoda, digoyahkan oleh hawa nafsu, dan sifat mutasyabih yang terdapat dalam al-Qur’an. Mereka semantap dan sekukuh gunung, karena merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam. Dengan demikian semua ayat al-Qur’an mereka pandang sebagai ayat-ayat muhkam. Sikap yang mereka pegang adalah: Kullun min ‘indi Rabbina (semua berasal dari Tuhan kami).

Sikap yang mereka tunjukkan itu melukiskan keyakinan bahwa setiap yang berasal dari Allah tidak akan saling bertentangan. Jika makna suatu ayat bersifat mutasyabih di suatu tempat, maka makna itu dijelaskan di tempat yang lain oleh ayat muhkam, sehingga semuanya menjadi jelas, tidak ada yang saling bertentangan.

Beberapa ayat al-Qur’an menyebutkan Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Apa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan apa saja yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi; Dialah yang member petunjuk atau menyesatkan manusia. Ayat-ayat yang menyebutkan hal ini antara lain, terdapat pada surah al-Baqarah (2): 20:
  
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Dalam surah an-Nahl (16): 40:
  
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.

Dalam surah al-Fathir (35): 8:

Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.

Apabila hanya membaca sekelompok ayat di atas, dapat timbul dugaan bahwa pernyataan yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan hikmah Allah SWT. Seolah-olah Allah member petunjuk atau menyesatkan hamba-Nya secara acak dan tanpa sebab yang jelas. Akan tetapi, dugaan tersebut dihapuskan oleh ayat-ayat lain yang menjelaskan: Petunjuk diberikan Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan oleh orang yang mendapat petunjuk itu, dan menjadi predikat dirinya. Ayat yang menjelaskan hal ini, antara lain: surah al-Ma’idah (5): 16:

Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.

Adapun orang-orang “yang disesatkan” Allah, karena mereka sendiri telah menjadikan setan sebagai pelindung mereka. Firman Allah pada surah al-A’raf ayat (7): 30:

Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.

Demikian juga ditegaskan pada surah ash-Shaff (61): 5:
  
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka[6]; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.

Sebenarnya jika diperhatikan lebih jauh, salah satu sebab timbulnya paham Jabariyyah ialah, karena para penganut paham tersebut terlalu menekankan salah satu aspek saja dari pengertian ayat-ayat al-Qur’an. Mereka cenderung hanya berpegang pada ayat-ayat yang menjelaskan kekuasaan mutlak Tuhan. Padahal banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah tidak memaksa hamba-hamba-Nya untuk melakukan ataupun meninggalkan sesuatu. Ayat-ayat tersebut menjelaskan manusia bertindak berdasarkan pilihan dan qudrah (kemampuan bertindak) yang mereka miliki. Al-Qur’an dengan tegas menisbahkan perbuatan-perbuatan manusia kepada manusia sendiri, baik perbuatan jahat maupun baik.
Sebaliknya paham Qadariyyah timbul karena para penganutnya terlalu menekankan perhatian pada ayat-ayat yang menjelaskan adanya qudrah dan kebebasan manusia. Mereka menafikan kaitan antara qudrah dan kebebasan memilih manusia pada satu sisi, dan kehendak mutlak Allah pada sisi lain. Padahal di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa qudrah Allah mencakup segala sesuatu, yang di dalamnya termasuk segala perbuatan dan sifat manusia. Surah al-Kahfi (18): 23-24:

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,

Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[7]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

Pada surah al-Insan (76): 30 al-Qur’an menegaskan pula:
  
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Akan tetapi, jika kedua kelompok ayat di atas dibaca dan dipahami secara seimbang, proporsional, dan terintegrasi satu sama lain, maka semua ayat dan nas yang disebutkan di atas tidak saling bertentangan. Karena semua ayat yang diterangkan di atas adalah al-haq (kebenaran), setiap muslim mesti meyakini dan mengimaninya.

Dengan membaca dan memahami kedua kelompok ayat di atas secara seimbang dan holistic, dapat dikatakan, maksud ayat-ayat di atas ialah, perbuatan patuh atau maksiat manusia terhadap Tuhan-Nya benar-benar dilakukan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, perbuatan tersebut berdasar atas pilihan, kehendak, kekuasaan, dan kekuatan yang diberikan Allah kepada manusia. Sedangkan daya untuk membuat pilihan, keputusan, kekuasaan, dan kekuatan melakukan perbuatan patuh atau maksiat itu, Allah yang menciptakannya.[8]

KESIMPULAN
Kita menjadi mengerti, bahwa ayat-ayat yang bersifat umum di sebagian al-Qur’an, diterangkan oleh ayat-ayat al-Qur’an lainnya. Yang belum jelas di satu ayat, ditegaskan oleh ayat lainnya. Ayat-ayat yang mutasyabih di satu bagian al-Qur’an, menjadi muhkam karena dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya.

Adapun ayat-ayat perintah atau larangan yang sudah dikenal dan dimengerti oleh masyarakat, seperti shalat dan zakat, atau larangan berzina dan berlaku zalim, tidak lagi dipandang sebagai mutasyabih, walaupun perintah atau larangan tersebut dinyatakan secara umum saja. Fungsi ayat-ayat tersebut lebih bersifat mengarahkan, menyadarkan dan meluruskan pandangan, serta menegaskan sesuatu yang sebelumnya diragukan pengertian atau kedudukan hukumnya.[9]


DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah.



[1] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlak, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dan lain-lain.
[2] Maksud berulang-ulang di sini ialah hukum-hukum, pelajaran dan kisah-kisah itu diulang-ulang menyebutnya dalam Al Quran supaya lebih kuat pengaruhnya dan lebih meresap. sebahagian ahli tafsir mengatakan bahwa Maksudnya itu ialah bahwa ayat-ayat Al Quran itu diulang-ulang membacanya seperti tersebut dalam mukaddimah surat Al Faatihah.
[3] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[4] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
[5] M. Quraish Shihab. Kaedah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2013. Hlm. 209-210.
[6] Maksudnya karena mereka berpaling dari kebenaran, Maka Allah membiarkan mereka sesat dan bertambah jauh dari kebenaran.
[7] Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana Nabi lupa menyebut insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.
[8] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah. 2010. Hlm. 38-43.
[9] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Kaidah-kaidah Tafsir. Jakarta: Amzah. 2010. Hlm. 43-44.

SYI’AH




Compiled by: ANDIKAMAULANA
I.                   PENDAHULUAN
Sejak masa Rasulullah saw serta dua khalifahnya, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama yang memiliki banyak pengikut, mempunyai karakter dan identitas khusus, dan memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada akhir masa kekhalifahan ‘Utsman. Mereka adalah orang-orang Syi’ah yang sangat setia kepada Ali yang meyakini kekhalifahan Ali didasarkan pada nash (ketetapan berdasarkan teks suci) dan wasiat dari Rasulullah saw, baik yang disampaikan secara jelas maupun samar. Menurut mereka, seharusnya imamah (tampuk kepemimpinan) itu diduduki oleh Ali dan keturunannya, serta tidak boleh lepas darinya. Jika terlepas, itu berarti disebabkan oleh kezaliman dari orang lain; atau karena taqiyah dari Ali sendiri. Imamah adalah rukun agama. Rasulullah saw tidak mungkin melupakan atau menyia-nyiakannya, dan tidak mungkin pula menyerahkannya kepada masyarakat umum.[1]

II.                POKOK PEMBAHASAN
1.      Definisi Syi’ah
2.      Pokok-pokok Ajaran Syi’ah
3.      Kelompok-kelompok dalam Sy’ah

III.             PEMBAHASAN
A.    Definisi Syi’ah
Sayyid al-Hashyimy & Muhammad Iqbal dalam Buku Pintar Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi Atas Paham Ahlu Sunnah, mendefinisikan sebagai golongan Islam yang mengikuti 12 Imam dari keluarga Rasulullah melalui keturunan Ali dan anak-anaknya dalam semua urusan ibadah dan muamalah. Namun Syi’ah yang dimaksud disini adalah Syi’ah Imamiah atau Ja’fariyah, bukan Syi’ah Ismailiyah atau Zaidiyah karena mereka tidak meyakini hak kekhalifahan Ali dan keturunannya.[2]
Menurut Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I, Syi’ah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya Syiya’un. Dari sini Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan khalifah.[3]
Definisi yang kedua ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Muhammad Jawad Maghniyah, seorang ulama beraliran Syi’ah, dan Ali Muhammad al-Jurjani (1339-1413), seorang Sunni penganut aliran Asy’ariyah,  yang ditulis oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya “Sunnah-Sy’ah: Bergandengan Tangan! Mungkinkah?(Kajian atas konsep ajaran dan pemikiran).[4]
Golongan Syi’ah ini terpadu padanya pengertian firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa Sayyidina Ali ra dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama.[5]

B.     Pokok-pokok Ajaran Syi’ah
Imamah dan khalifah adalah asas terpenting bagi golongan Syi’ah dan dianggap sebagai pembeda antara golongan Syi’ah dan golongan lainnya. Ada empat hal pokok yang berkaitan erat dengan masalah imamah dan khalifah, yaitu at-Ta’yin wa at-Tanshish (penentuan dan penunjukkan), ‘Ishmah (keterjagaan dari perbuatan dosa), al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah (kebangkitan dan kebebasan dari api neraka), dan at-Taqiyah (menyembunyikan ke-Syi’ah-an seseorang). Berikut penjelasan dari masing-masing pokok ajaran Syi’ah:

1.      At-Ta’yin wa at-Tanshish
Syi’ah menganggap imamah bukan permasalahan publik yang diputuskan melalui pemilihan umum. Terpilihnya seseorang menjadi Imam (khalifah) sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Karena itu, imamah adalah sesuatu yang prinsipil dan merupakan rukun agama. Rasulullah saw tidak boleh melupakan atau menyia-nyiakannya, dan tidak mungkin menyerahkan kepada masyarakat umum. Sebaliknya, Rasulullah telah menentukan penggantinya (khalifah) dan menunjuk Ali sebagai penggantinya, baik secara jelas maupun samar. Menurut Mahmud Jawwad, Syi’ah mempunyai pandangan yang berbeda dengan golongan lain mengenai masalah imamah. Bagi Syi’ah, imamah itu sudah ditetapkan penunjukkannya melalui nash
(teks al-Qur’an atau Hadits) dari Nabi saw. Beliau juga tidak diperkenankan melupakan nash tersebut dan menyerahkan urusan imamah sesuai pilihan umat.

2.      ‘Ishmah
Syi’ah berpendapat, para imam seperti para nabi yang setiap langkah hidupnya dijaga oleh Allah swt. Mereka meyakini, bahwa para imam tidak pernah melakukan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil, dan tidak pernah melakukan kekeliruan atau kealpaan.
Mahmud Jawwad mengatakan, “Syarat bagi hakim yang berhak menguasai urusan dunia dan akhirat adalah hendaknya ia terjaga (ma’shum) dari kesalahan dan kekeliruan dalam ilmu dan amalnya; atau orang yang mendapat restu dari imam yang ma’shum karena dianggap memiliki ilmu yang mendalam dan akhlaknya baik. Jika kriteria-kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka ia tidak berhak memutuskan hukum atas nama Allah dan agama.

3.      Al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah
Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi adalah imam yang kedatangannya sangat dinanti untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Orang generasi pertama yang meyakini adanya ruj’ah (kembalinya orang mati ke dunia) adalah Abdullah bin Saba’. Ia meyakini bahwa Nabi Muhammad saw akan kembali ke dunia setelah kewafatannya. Banyak juga orang Syi’ah Imamiah yang mempunyai keyakinan seperti ini. Mereka mengira bahwa Nabi Muhammad saw, Ali, Hasan, Husain, imam-imam lainnya, serta rival-rival mereka seperti Abu Bakar , Umar, Utsman, Muawiyah,dan Yazid , semuanya itu akan dikembalikan hidup ke dunia setelah munculnya Imam Mahdi. Kemudian orang-orang yang memusuhi para imam, merampas hak kekhilafahan dari tangan para imam, dan membunuhnya, maka akan disikasa. Setelah penyiksaan itu selesai, mereka akan dimatikan lagi, baru dibangkitkan kembali pada hari kiamat nanti.

4.      At-Taqiyah
Taqiyah berarti memperlihatkan ketaatan dan kesetiaan untuk menjaga kehormatan, jiwa, dan harta benda. Taqiyah adalah sebuah siasat rahasia, yang menurut Syi’ah disebut an-Nizham as-Sirri (sistem rahasia). Jika imam ingin melakukan pemberontakan atau kudeta terhadap khalifah, maka ia menyusun strategi dan perencanaan yang matang. Lalu ia memberitahukan rencana tersebut secara rahasia kepada para pengikutnya. Selama rencana tersebut belum berhasil, mereka diharuskan tetap taat kepada khalifah yang sah. Itulah makna taqiyah yang sesungguhnya. Jika merasakan adanya ancaman dari orang kafir atau golongan Sunni, maka mereka berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan seakan-akan mereka tetap menjalani aturan. Sikap seperti ini bisa juga disebut sebagai taqiyah. Atas dasar inilah, sebagian mereka menyarankan kepada orang-orang Syi’ah yang berkumpul dengan Sunni agar tetap mengikuti tata cara shalat, puasa, dan semua tata cara beragama ala Sunni. Sikap Syi’ah yang seperti ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran khawarij yang mewajibkan untuk memberontak kepada penguasa yang zalim.[6]

C.    Kelompok-kelompok dalam Sy’ah
Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut al-Baghdadi (w. 429 H), pengarang kitab al-Farqu baina al-Firaq, secara umum mereka terbagi menjadi empat kelompok dan masing-masing dari keempat kelompok tersebut terbagi pula menjadi beberapa kelompok kecil. Hanya dua kelompok diantara mereka itu yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu kelompok az-Zaidiyah dan al-Imamiyah. Demikian menurut al-Baghdadi. Berikut empat kelompom Syi’ah:
1.      Ghulat (Ekstremis)
Syi’ah kelompok (ekstremis) ini hampir dapat dikatakan telah punah. Mereka antara lain adalah:
a.       As-Sabaiyah
Menurut asy-Syahrastany, mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta”, yakni Engkau adalah Tuhan. Dia juga menyatakan dan mempopulerkan keyakinan bahwa Sayyidina Ali ra memiliki tetesan ke-Tuhan-an. Dia menjema melalui awan. Guntur adalah suaranya, kilat adalah senyumnya. Dia kelak akan turun kembali ke bumi untuk menegakkan keadilan sempurna. Aliran kepercayaan yang serupa dengan ini bermacam-macam dan bercabang-cabang pula.
b.      Al-Khaththabiyah
Mereka adalah penganut aliran Abu al-Khaththab al-Asady, yang menyatakan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Imam Ja’far sendiri mengingkari bahkan mengutuk kelompok ini. Karena sikap Imam Ja’far yang tegas itu, maka peimpinannya, yakni Abu al-Khaththab al-Asady, mengangkat dirinya sebagai Imam. Ia mengajarkan para Nabi adalah Tuhan, bahkan Imam Ja’far dan para leluhurnya pun dijadikannya Tuhan. Al-Khaththabiyah terbagi juga pada sekian kelompok yang berbeda-beda. Sebagian diantara mereka percaya bahwa dunia itu kekal, tidak akan binasa, surge adalah kenikmatan duniawi, mereka tidak mewajibkan shalat dan membolehkan minuman keras.
c.       Al-Ghurabiyah
Cabang kelompok ini, antara lain, percaya bahwa sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibril as kepada Ali bin Abi Thalib ra, tetapi malaikat itu keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi. Karena itu mereka mengutuk malaikat Jibril as sambil berkata: “Khana al-Amin/ yang dipercayai telah berkhianat”.
d.      Al-Qaramithah
Kelompok ini dinisbahkan kepada seseorang yang bermukim di Kufah, Irak, yang bernama Hamdan Ibn al-Asy’ast, dan dikenal luas dengan gelar Qirmith (si pendek), karena perawakan dan kakinya sangat menonjol pendeknya. Kelompok ini pada mulanya adalah kelompok yang terpengaruh oleh aliran Syi’ah Ismailiyah.
            Keyakinan mereka sangat ekstrem. Mereka, antara lain, menyatakan bahwa Sayyidina Ali ra adalah Tuhan, bahwa setiap teks mempunyai makna lahir dan batin, dan yang penting adalah makna batinnya. Mereka menganjurkan kebebasan seks dan kepemilikan wanita dan harta secara bersama-sama, dengan dalih mempererat hubungan tali kasih. Mereka juga membatalkan kewajiban shalat dan puasa. Ini antara lain yang menjadikan kelompok induk mereka, yakni Syi’ah Ismailiyah mengutuk mereka.
            Masih banyak lagi cabang-cabang dari kelompok ekstrem ini, seperti al-Manshuriyah, an-Nushaiziyah, al-Kayyaliyah, al-Kaisaniyah, dan masih banyak lainnya yang dapat mencapai puluhan dengan aneka cabang dan pecahan-pecahannya.[7]

2.      Ismailiyah dan cabang-cabangnya
Kelompok Syi’ah Ismailiyah hingga kini masih memiliki pengikut-pengikut yang setia, namun sebagian dari kelompok-kelompoknya memiliki pandangan-pandangan yang dapat dinilai menyimpang. Kini, Syi’ah Ismailiyah tersebar dalam kelompok minoritas di sekian banyak Negara, antara lain Afghanistan, India, Pakistas, Suriah, dan Yaman, serta beberapa Negara Barat, seperti di Inggris dan Amerika Utara.
      Kelompom Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa Ismail, Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya yang merupakan imam keenam dari aliran Syi’ah secara umum. Memang setelah meninggalnya Imam Ja’far, sekelompok penganut Syi’ah percaya bahwa putra beliau, Musa al-Kadzim adalah imam ketujuh, sebagaimana kepercayaan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Sedang kelompok lainnya mempercayai bahwa Ismail, kemudian putranya, Muhammad, adalah Imam sesudah ayah mereka, padahal Ismail wafat lima tahun sebelum wafatnya sang ayah (Imam Ja’far).
      Ismail bin Ja’far ash-Shadiq menurut kelompok ini sebenarnya belum wafat, kelak dia akan tampil kembali di pentas bumi ini. Kedatangannya dinantikan oleh kelompok Ismailiyah, sebagaimana kelompok Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan sebagian kelompok Ahlussunnah menantikan kehadiran Imam Mahdi.[8]

3.      Az-Zaidiyah
Az-Zaidiyah adalah kelompok Syi’ah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner.
      Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapapun yang memiliki garis keturunan samapai dengan Fatimah, putrid Rasulullah saw, baik dari keturunan putra beliau, al-Hasan bin Ali, maupun al-Husain, dan selama yang bersangkutan memiliki kemampuan keilmuan, adil, dan berani, keberanian yang mengantarnya mengangkat senjata melawan kezaliman.
      Syi’ah Zaidiyah kendati berkeyakinan bahwa Ali ra adalah sahabat Nabi yang termulia, bahkan melebihi kemuliaan Abu Bakar, Umar, Utsman ra, namun mereka mengakui sahabat-sahabat Nabi itu sebagai khalifah-khalifah yang sah. Karena itulah dank arena keengganan mereka mempersalahkan para sahabat Nabi itu, apalagi mencaci dan mengutuk mereka, maka pengikut-pengikut Imam Zaid dinamai dengan ar-Rafidhah, yakni penolak (untuk) menyalahkan dan mencaci.
      Az-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan al-Qur’an dan Sunnah, dan nalar. Mereka tidak membatasi penerimaan hadits dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain. Demikianlah sekelumit pandangan Syi’ah az-Zaidiyah yang dinilai sebagai kelompok Syi’ah yang paling dekat Ahlussunnah wa al-jamaah.[9]

4.      Itsna ‘Asyariyah
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah sekelompok Syi’ah yang yang mempercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Ali ra dan Fathimah az-Zahra, putrid Rasulullah saw.
Kelompok ini merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga di Saudi Arabia, dan beberapa daerah (bekas) Uni Sovyet.
Karena kelompok ini merupakan mayoritas dari kelompok Syi’ah, maka sewajarnya mereka dan pendapat-pendapat merekalah yang seharusnya diketengahkan ketika berbicara tentang Syi’ah secara umum, bukannya pendapat ketiga kelompok tersebut di atas, Ghulat, Ismailiyah, dan Zaidiyah.[10]

IV.             KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra adalah orang yang berhak sebagai khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan adalah penggasab (perampas) kedudukan khalifah.
2.      Imamah dan khalifah adalah asas terpenting bagi golongan Syi’ah dan dianggap sebagai pembeda antara golongan Syi’ah dan golongan lainnya. Ada empat hal pokok yang berkaitan erat dengan masalah imamah dan khalifah, yaitu at-Ta’yin wa at-Tanshish (penentuan dan penunjukkan), ‘Ishmah (keterjagaan dari perbuatan dosa), al-Mahdiyyah wa ar-Raj’iyyah (kebangkitan dan kebebasan dari api neraka), dan at-Taqiyah (menyembunyikan ke-Syi’ah-an seseorang).
3.      Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut al-Baghdadi (w. 429 H), pengarang kitab al-Farqu baina al-Firaq, secara umum mereka terbagi menjadi empat kelompok dan masing-masing dari keempat kelompok tersebut terbagi pula menjadi beberapa kelompok kecil. Hanya dua kelompok diantara mereka itu yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu kelompok az-Zaidiyah dan al-Imamiyah. Demikian menurut al-Baghdadi. Berikut empat kelompom Syi’ah:
a.       Ghulat (Ekstremis)
b.      Ismailiyah
c.       Zaidiyah
d.      Itsna ‘Asyariyah

V.                DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2007. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? : Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati.

Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) : Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers.

Abdus Salam, Ahmad Nahrawi. 2008. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika).

Sayyid al-Hashyimy & Muhammad Iqbal. Tanpa Tahun. Buku Pintar Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi Atas Paham Ahlu Sunnah. Jakarta: Inovasi.



[1] Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika). 2008. Hlm. 95.
[2] Sayyid al-Hashyimy & Muhammad Iqbal . Buku Pintar Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi Atas Paham Ahlu Sunnah. Jakarta: Inovasi. Tanpa Tahun. Hlm. 19.
[3] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) : Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 72.
[4] M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? : Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Hlm. 60-61.
[5] Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M.Pd.I. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) : Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. Hlm. 72.
[6] Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi. Ensiklopedia Imam Syafi’i. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika). 2008. Hlm. 97-100.
[7] M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? : Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati. 2007. Hlm. 69-73.
[8] Ibid. hlm. 73-78.
[9] Ibid. hlm. 78-83.
[10] Ibid. hlm. 83